SAAT KECILKU...
0
Menutupi kesedihanku. Bahkan ketika kecil
pun aku sudah belajar berbohong. Bukan hanya belajar berbohong. Bahkan aku
mempraktekannya. Alasannya simpel. Aku berbohong karena aku malu. Aku malu
menangis sedih. Aku tidak mau terlihat lemah. Aku berbohong karena aku ingin
terlihat tegar.
Malam itu, seseorang berpamitan padaku.
Seseorang yang pernah berperan sebagai teman, kakak, sekaligus ibu buat aku.
Seseorang yang sangat tulus menemani dan merawatku. Seseorang yang sehari –
harinya memberikan perhatian kepadaku tiba – tiba memutuskan untuk pergi
merantau ke Jakarta. Sebenarnya ingin sekali aku marah waktu itu, bagaimana
bisa dia pergi meninggalkanku begitu saja? Tidak terpikirkah bagaimana aku
tanpanya? Setidaknya terlintas kah dipikirannya, setelah dia pergi adakah
pengganti dirinya untukku?
Namun untuk mengatakan apa yang aku
rasakan aku tak bisa. Aku tak bisa mengutarakan pertanyaan – pertanyaanku.
Untuk memperlihatkan padanya bahwa aku akan kehilangan pun tidak bisa. Aku Cuma
bisa bilang iya... iya... iya... ketika dia menyampaikan pesan – pesan untukku.
Dan aku Cuma bisa bilang hati – hati.... kata yang sebenarnya aku tidak ingin
dia pergi.
Sejak pertemuan dengannya yang terakhir
aku sangat sedih. Aku sangat kehilangan. Yang terbayang olehku adalah aku tidak
bisa melihatnya lagi. Dan lebih menyedihkan lagi aku tidak mempunyai siapa -
siapa lagi yang seperti dia. Kesedihanku terasa lebih sesak lagi karena aku
tahan air mataku. Aku malu untuk menangis.
Ketika merasa aman di dalam rumah, aku
menangis. Aku sudah pastikan tidak akan ada yang melihatku. Tidak ada orang di
rumah selain aku. Aku menangis sekencang – kencangnya. Aku menangis sepuasnya.
Setelah aku merasa lebih lega aku berhenti menangis. Karena sepertinya sudah
waktunya aku berhenti menangis, takkan lama lagi akan ada yang pulang. Aku
berhasil berhenti menangis. Namun hanya beberapa saat. Aku kembali lagi
teringat. Seseorang itu telah pergi...
“ Kamu kenapa? “ Aku kaget. Aku tidak
mendengar kepulangannya tiba – tiba nenek membuka pintu tanpa mengetuknya dan
bertanya sama kagetnya padaku.
“ Tidak apa – apa .” Jawabku. Singkat,
dengan harapan dia tidak akan bertanya apa – apa lagi.
“ Koq kamu nangis. Ayo bilang, siapa yang
bikin kamu nangis. “
Aku bingung mau jawab apa. Yang jelas aku
malu menangisi seseorang yang telah pergi. Aku tidak ingin mengatakan yang
sebenarnya. Ketakutanku dan rasa tidak siapku menghadapi malu memberiku pilihan
untuk berbohong. Seperti tidak ada pilihan lain, dan akupun berbohong. Aku
mebuat cerita palsu. Aku mengatakan bahwa aku menangis karena temanku
mendorongku dan menarik rambutku lalu membanting kepalaku ke pohon. Aku
mengatakan itu karena aku berpikir anak kecil perempuan setegar apapun jika
dianiyaya seperti itu pastilah menangis.
Nenekku pun berusaha menghiburku. Setelah
aku tenang dan benar – benar berhenti menangis, nenekku menyampaikan tentang
kepergian dia. Tentang kepergian seseorang yang tidak aku inginkan. Sepertinya
nenek memahami rasa kehilanganku. Aku jadi menyesal karena berbohong. Padahal tanpa
berbohongpun sepertinya aku akan dimaklumi jika menangis karena kehilangan.
Keesokan harinya nenekku bercerita. Bahwa
dia bertemu dengan temanku. Nenekku memarahinya. Nenekku mengancamnya agar
tidak melakukan kekerasan padaku lagi. Kata nenekku temanku tidak mengaku, tapi
temanku ketakutan dan akhirnya Cuma mengangguk – angguk saja. Dalam hati aku
semakin menyesal. Tidak seharusnya aku berbohong. Kenapa aku membuat fitnah
untuk temanku? Kenapa aku harus malu menangis?
Itu ketika aku kecil. Bahkan sampai
sekarang penyesalan itu belum lepas hilang. Padahal rasa kehilanganku sudah
berhasil aku tepis. Dan bahkan sampai sekarang aku masih terus saja mengulang
itu. Aku masih malu untuk menangis. Aku masih ingin terlihat tetap tegar
menghadapi kesedihan macam apapun. Aku masih saja tidak berkata jujur tentang
apa sebenarnya yang membuat aku menangis. Biasanya aku akan mengarang cerita.
Biasanya aku akan mengatakan apapun yang tidak sebenarnya membuat aku sedih.
Walaupun terkadang malah justru membuat aku terlihat cengeng. Tapi kadang aku
merasa lega. Karena orang yang tahu atapun melihat aku menangis, tidak tahu apa
yang sebenarnya membuatku sedih.
Jika kebohongan pernah sekali menyelamatkanmu, jangan berharap untuk keduakalinya. Karena tidak selamanya kebohongan menyelamatkanmu, melindungimu dan memihakmu. Menangis sajalah . .
0 komentar:
Komentar anda akan saya terima, dan saya berhak untuk mempublikasikan atau tidak